Rabu, 10 September 2014

Filosofi & Filsafat Mahabharata 2

Filosofi & Filsafat Mahabharata 2 Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian II. Tetang Penitisan-penitan bathara Wisnu. 1. Bathara Wisnu nitis menjadi Mina (Ikan). Ini menjadi lambang terciptanya semua kehidupan di dalam air. Sehingga jenis kehidupan hewan air adalah yang pertama ada. Pendapat para pujangga pada jam dahulu yang seperti itu tidak bertentangan dengan pendapat dari para ilmuwan modern sekarang ini. 2. Bathara Wisnu Nitis menjadi Kura-kura. Sebagai lambang dari awal terciptanya hewan yang hidup di antara air dan daratan, yaitu hewan amphibi dan reptile. 3. Batahara Wisnu nitis menjadi Garuda (Burung). Sebagai lambang terciptanya bangsa burung. 4. Bathara Wisnu nitis menjadi Landak. Sebagai lambang awal terciptanya hewan menyusui, jenis herbivore, yaitu hewan-hewan yang mekanan pokoknya adalah rerumputan atau dedaunan. 5. Bathara Wisnu nitis menjadi Singa Barong (Singa). Sebagai lambang awal mula terciptanya semua jenis hewan yang makanan pokoknya adalah daging (Carnivora). Sampai di sini dunia telah tercipta dan menjadi tempat kehidupan semua jenis tumbuh-tumbuhan dan semua jenis hewan. Urutan jenis kehidupan seperti tersebut di atas tidak terlalu jauh berbeda dengan pendapat para ahli keilmuan moderen. Bathara Wisnu kemudian meneruskan penitisannya sebagai lambang awal terciptanya berbagai jenis bangsa dalam kehidupan manusia, dimulai dari bangsa paling tertua, sebagai berikut : 6. Bathara Wisnu nitis menjadi Jenis Manusia Cebol. Ini menjadi lambang terciptanya bangsa Pygmy. Manusia dewasa Bangsa Pygmy tingginya kurang lebih 130 Cm. Sisa-sisa bangsa Pygmy saat ini yang masih hidup yaitu di Benua Afrika dan apabila tidak salah mungkin juga ada di Papua. Menurut cerita Padhalangan, walaupun Manusia Cebol yang tingginya Cuma 130 Cm, akan tetapi hanya dengan melangkah tiga kali sudah bisa mencapai langit yang tinggi. Makna yang demikian tidak lain bahwa manusia sesungguhnya harus melewati tiga tataran sifat evolusi dalam jiwanya barulah bisa menjadi manusia sempurna, Insan Kamil. Tataran yang pertama yaitu tingkatan manusia yang hanya menuruti keinginan dari raga dan perasaannya saja. Tataran Evolusi jiwa yang demikian lebih dekat dengan sifat dari hewan dari pada tingkatan sifat dari manusia. Tataran yang kedua yaitu tataran manusia yang didalam segala tindakannya lebih memberatkan dari apa yang diperintahkan oleh akal budinya. Tataran yang ketiga adalah tataran manusia binangun, manusia yang dalam segala tindakannya selalu menuju kepada kesempurnaan kehidupan lahir dan kehidupan bathin. 7. Bathara Wisnu nitis menjadi Rama Bargawa. Ini menjadi lambang awal dari manusia yang kedua. Rama Bargawa digambarkan sebagai orang bertubuh tinggi dengan berkulit hitam dan tidak pernah berpisah dengan senjatanya yang berupa kampak yang terbuat dari batu. Rama Bargawa adalah sebagai lambang dari manusia pada jaman batu. Bangsa yang demikian yang selanjutnya tumbuh menjadi jenis manusia yang berkulit hitam. 8. Bathara Wisnu nitis menjadi Harjuna Sasrabahu. Ini menjadi lambang awal terciptanya manusia yang ke tiga, yaitu manusia pada Jaman Tembaga. Menurut cerita manusia tersebut jaman dahulu kala mendiami wilayah Atlantis dan Lamuria yang kini telah tenggelam di dasar Samudra Atlantik dan Samudra Pasifik. 9. Bathara Wisnu nitis menjadi Rama Wijaya, ini menjadi lambang awal terciptanya manusia yang ke empat, yaitu manusia di Jaman Perunggu, yang menjadi cikal bakal dari bangsa berkulit kuning, barangkali saat ini adalah Bangsa Cina, Korea, Jepang dan Mongol. 10. Bathara Wisnu nitis menjadi Sri Kresna. Ini menjadi lambang terciptanya manusia yang ke lima, yaitu manusia pada Jaman Besi atau Kali Yuga, mungkin sebagai awal dari bangsa berkulit putih. V. Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian III. Cerita Mengenai Anak Turun Dari Bathara Brama Sampai Dengan Cerita Abiyasa. Sebelum melanjutkan pada cerita Padhalangan Bagian yang ke tiga, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa : “Siapakah pengarang yang sesungguhnya dari Serat Maha Barata ini? Menurut pendapat yang telah umum, bahwa yang mengarang Serat Maha Barata adalah Seorang Manusia Agung pada jaman dahulu, yang telah mumpuni dalam Olah Ilmu kehidupan dengan amat sangat sempurna, yang bernama Viyasa. Menurut pendapat umum, Viyasa sesungguhnya bukanlah pengarang yang sesungguhnya. Sebab kata Viyasa berasal dari kata Vi yang berarti telah mumpuni dan kata Yasa yang berarti yang membuat, yang mengarang, yang mencipta, sehingga Viyasa bisa diartikan sebagai Pengarang yang mumpuni. Jadi bukanlah nama dari pengarang yang sesungguhnya. Lantaran Bathara Guru dan Bathara Brama, Viyasa (Abiyasa) sebagai keturunan dari Sang Hyang Wenang. Ini jelas menunjukan bahwa menurut Pengarang Maha Barata bahwa manusia sesungghnya berasal dari Allah yang bersifat Maha Kuasa. Ini mengingatkan dalam Ajaran Agama Islam sebagai berikut : Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Pada Serat Maha Barata dan juga pada cerita Padhalangan, Abiyasa selain menggambarkan sebagai wujud manusia juga menggambarkan sebagai wujud dari Jagad Kecil (microcosmos). Jagad Kecil juga sebagai gambaran dari jagad besar (Macrocosmos). Dan juga sebaliknya. Dalam Jagad Kecil Sebagai perwujudan dari Dalam Jagad Besar Brama Saddhara Nabi Adam Brama Sadtapa / Tritrustha Nabi Sis Parikenan Sang Hyang Nur Rasa Manumanongsa Sang Hyang Nur Cahya Sakutrem Sang Hyang Tunggal Sakri Sang Hyang Wenang Palasara Bathara Guru Abiyasa Bathara Ismaya VI. Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian IV. Cerita Kehidupan Keturunan Abiyasa, Sebagai Lambang Evolusi Manusia, sampai dengan Kedewasaan Jiwanya, Pada Saat Manusia Mempunyai Niat Yang Kuat Untuk Berjuang Menuju Kesempurnaan Hidup. Setelah menerangkan asal usul manusia (Microcosmos), yang berasal dari Tuhan, kemudian Sang Viyasa atau Abiyasa, meneruskan karangannya yaitu Serat Maha Barata, dengan jalan merenungi keadaan dalam dirinya sendiri (jiwanya sendiri). Bahwa sesungguhnya di dalam jiwa setiap manusia ada dua unsur. Unsur yang pertama selalu mengajak pada kebaikan. Sedangkan unsure yang kedua selalu mengajak pada kejahatan. Manusia juga diberi kemampuan untuk bisa membedakan antara kebaikan dan kejahatan yang dalam Ajaran Agama Islam disebut “Al Furqan” dalam Bahasa Jawa disebut “Traju Panimbang”. Keadaan jiwa manusia seperti tersebut di atas, dalam Serat Maha Barata dilambangkan dalam cerita, bahwa Abiyasa mempunyai anak tiga, yaitu : 1. Drestharata, lambang dari suara batin tiap manusia yang selalu mengajak pada kejahatan, Drestharata itu buta sehingga tidak bisa mengerti kebaikan.2. lambang dari suara batin tiap manusia yang selalu mengajak pada kebaikan. 3. Yama Widura, lambang dari Traju Panimbang antara Kebaikan dan Kejahatan yang berada dalam suara batin tiap manusia. Anak tiga tersebut, yang dua yaitu Drestharata dan Pandhu lahir dari Garwa Padmi. Sedangkan yang ragil yaitu Yama Widura lahir dari Garwa Selir. Ini mengandung maksud bahwa adanya kebaikan dan kejahatan sesungguhnya berasal dari atas, sebab telah menjadi kodrat dari kehidupan. Di muka telah diterangkan bahwa Nabi Adam dan Babu Kawa turun ke dunia dikarenakan berani makan buah kebaikan dan kejahatan. Sebaliknya Yama Widura anak dari Garwa Selir. Ini mengandung arti bahwa pertimbangan antara kebaikan dan kejahatan tumbuh karena pengalaman dalam kehidupan di alam dunia ini. Anak-anak dari Abiyasa semuanya cacat. Yang anak pertama telah diterangkan bahwa Drestharata buta, yang pada intinya bahwa Drestharata adalah buta terhadap kebaikan. Seterusnya Pandhu cacat thengeng. Pandhu dalam setiap tindakan apa saja, selalu berupaya untuk keselarasan antara Cipta (Perasaan) yang terletak di Jantung dan Ripta (Pikiran) yang terletak di otak. Garis yang menghubungkan antara otak dan jantung adalah tidak tegak lurus, kenyataannya adalah miring. Inilah yang dimaksud dengan keadaan Pandhu yang cacat thengeng. Sedangkan Yama Widura cacatnya adalah lumpuh. Traju panimbangan antara kejahatan dan kebaikan bisanya hanya membedakan antara kebaikan dan kejahatan. Akan tetapi tidak ikut-ikut dalam menentukan mana yang harus di pilih atau yang mana yang harus dikerjakan. Sehingga Yama Widura dalam perang Brata Yuda tidak memihak Pandhawa ataupun Ngastina. Diceritakan bahwa Drestharata mempunyai anak sebanyak seratus orang, yang kebanyakan mempunyai nama awalan Dur, seperti Duryudana, Dursasana, Durmuka, Durbala, dan seterusnya; Dur mempunyai arti kejahatan. Drestharata buta mengandung maksud buta terhadap kebaikan, yang bisa menimbulkan perbuatan jahat jumlahnya amat sangatlah banyak sekali. Pandhu putranya hanya lima, tiga anak dari Dewi Kunthi dan dua anak dari Dewi Madrim. Anak tiga dari Dewi Kunthi sesungguhnya, yang satu yaitu Yudhistira (Punthadewa) adalah anak dari Bathara Darma. Yang satu lagi, Bima (Werkudara), sesungguhnya anak dari Bathara Bayu, dan yang satu lagi, yaitu Harjuna sesungguhnya adalah anak dari Bathara Indra. Yudhistira sesungguhnya sebagai lambang dari hidup yang tidak bersentuhan dengan kematian. Sehingga Yudhistira mempunyai keraton yang bernama Amarta, yaitu jaman kelanggengan (hidup abadi). Yudhistira adalah Atma-nya manusia, Jagad kecil, sebagai pembanding dari Nabi Sis pada Jagad besar. Bima sebagai lambang Budi yang ada dalam jiwa manusia, sebagai pembanding Sang Hyang Nur Rasa pada jagad besar. Sedangkan Harjuna adalah sebagai lambang manas atau akal, sebagai pembanding Sang Hyang Nur Cahya pada jagad besar. Dua anak dari Dewi Madrim, Nakula dan Sahadewa, sesungguhnya adalah anak dari Dewa Kembar yang bernama Aswin. Nakula sebagai lambang dari Raga manusia. Na bermakna wujud, dan Kula bermakna aku. Sehingga Nakula bermakna Wujudku, yaitu Ragaku. Nakula sebagai raga dari setiap manusia (Jagad Alit) sebagai pembanding Ismaya (Semar) pada jagad besar. Kemudian Sahadewa sebagai lambang Lingga dari badan, yang menyebabkan rasa yang menguasai kulit, daging, dan seluruh bagian raga yang lainnya, yang ikut oncat meninggalikan raga ketika manusia meninggal dunia. Sahadewa sebagai pembanding Manikmaya pada jagad besar. Pandawa dan Kunti Madrim sama maknanya dengan Mater (latin), Mutter (Jerman) dan Moeder (Belanda). Madrim sebagai lambang Ibu Pertiwi, yaitu bumi yang kita injak ini. Ketika manusia meninggal dunia, raga akan pulang kembali kepada asal mula kejadianya yaitu Bumi ini. Sampai di sini telah lengkaplah para peraga pokok di dalam Serat Maha Barata. Ketahuilah. Negara Astina dalam Serat Maha Barata atau dalam cerita Padhalangan, menjadi lambang dari Jagad kecil. Perselisihan yang tiada habis-habisnya antara Kurawa Ngastina dan Kurawa Pandawa, berebut kekuasaan dalam Negara Astina, ini menjadi lambang perang antara kebaikan dan kejahatan untuk bisa menguasai Jagad Kecil. Agar lebih jelas dalam menghayati bahwa begitu dalamnya isi dari Cerita Padhalangan, untuk itu perlu kami jelaskan juga bahwa : Pada saat masa kecilnya yaitu masa kanak-kanak, anak dari Drestharata dan anak-anak dari Pandhu, hidup bersama yang bertempat di Kraton Astina. Ini menunjukan bahwa pada awalnya manusia belum mengetahui apa bedanya kebaikan dan kejahatan. Di sini Kraton Astina sebagai lambang dari raga. Asti yang berarti Gajah, mempunyai watak sepuluh, selaras dengan kepercayaan Bangsa Hindu bahwa dunia ini dijaga oleh gajah yang berjumlah sepuluh. Yang rinciannya adalah di sebelah Utara, Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan, Barat Daya, Barat, Barat Laut, Atas (Zanith) dan Bawah (Nadir). Lengkap sepuluh. Sehingga kata Astina Pura mempunyai arti sebuah kota yang mempunyai gapura sebanyak sepuluh buah. Ini sesungguhnya adalah sebagai lambang setiap raga manusia. Pada umumnya jumlah lobang dalam raga manusia hanya dianggap Sembilan jumlahnya (nutupi babahan nawa sanga). Sesungguhnya adalah salah hitung, sebab lobang kelamin manusia sebetulnya adalah dua yaitu jalannya mani dan jalannya urine, akan tetapi hanya dihitung satu. Para anak dari Drestharata dan Pandhu yang sama-sama tinggal di Kraton Astina pada saat masih berumur kanak-kanak, di didik oleh tiga orang guru, yaitu : 1. Bagawan Krepa; Ceritanya adalah, Krepa tercipta dari rumput, yang tumbuh karena dari mani salah satu Pandhita yang jatuh ke dalam tanah. Oleh karena pohon padi termasuk jenis rerumputan, sehingga Krepa bisa sebagai lambang dari Pohon Padi, beras, ataupun makanan. Selain dari itu Ngrepa dalam bahasa jawa bisa bermakna mencari makanan ke dalam hutan, yang berupa akar-akaran ataupun dedaunan dan juga buah-buahan. Ini sebagai isyarat bahwa salah satu tujuan dari pendidikan awal untuk semua makhluk hidup tidak lain adalah mengajarkan agar bisa mencari makanannya sendiri. Dalam masa sekarang untuk pendidikan anak, agar anak bisa mengurus keperluannya sendiri atau menjadi anak yang mandiri. 2. Resi Bisma; Arti dari Bisma adalah sesuatu yang menakut-nakuti. Salah satu cara dalam pendidikan adalah dengan cara menakut-nakuti anak didik. Anak sekolah harus ditakut-takuti, nanti akan tidak naik kelas, nanti akan dimarahi oleh orang tuanya, dan seterusnya. Sampai dengan berumur tuapun manusia masih perlu ditakut-takuti, agar dalam hidupnya selalu mengerjakan kebaikan saja. Apabila tidak, maka akan bisa kena perkara ataupun di penjara, atau bahkan nantinya di akherat akan masuk ke dalam neraka jahanam. Jarang sekali manusia yang mau berbuat kebaikan dikarenakan atas kesadaran dirinya sendiri saja. Ini juga bisa melambangkan pendidikan budi pekrti yang luhur. 3. Drona Yang betul adalah Drona, terbawa dari saat lehirnya yaitu di dalam Jun (wadah) atau Drona. Nama Kumbayana juga sama maknanya. Kumba yang berarti Klenthing, Klenting atau Jun sebagai lambang dari ruangan di dalam kepala sebagai tempat otak manusia. Pandhita Durna sebagai lambang dari Ripta atau pikiran manusia. Durna adalah anak dari Bagawan Baratmaja di Negara Atas Angin. Baratmaja atau Barat Atmaja, ini berarti anaknya angin, sehingga Durna adalah cucu dari angin, halusnya sangatlah halus. Tumbuhnya akal adalah dari bergeraknya pikiran. Sehingga Harjuna (Akal) akan digerakan oleh Durna (Pikiiran) sehingga Harjuna adalah siswa kesayangan Pandhita Durna. Harjuna adalah ahli memanah (manah dalam bahasa jawa bermakna hati – memanah –menata hati untuk menuju kebaikan. Orang jawa dalam berfikir mampu mencari makna di balik kata sampai beberapa tingkat, logika fikiran jawa sangatlah tinggi. Contoh : Apabila ada huruhara, pikiran pertama akan bertanya saiapa dalangnya; pikiran tingkat dua, bukan hanya dalangnya saja yang dipikir, akan tetapi siapakah yang nanggap; Pikiran tingkat tiga, untuk keperluan apakah nanggap itu; dst, sampai ditemukan inti masalah yang sesungguhnya; orang jawa bilang alon-alon asal klakon. Pen.). Dari ketiga cara guru dalam mengajarkan ilmu yang tersebut di atas bisa dibandingkan dengan Sistem Pendidikan Karakter , yang sedang digalakan dalam sitem pendidikan awal di Indonesia saat ini. Lebih sempurna lagi bila di tambah dengan system pendidikan Budhi Pekerti layaknya Harjuna yang pandai memanah (pandai menata hati).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar