Rabu, 10 September 2014
Filosofi & Filsafat Mahabharata 3
Filosofi & Filsafat Mahabharata 3 Tokoh lainnya yang perlu dimengerti maknanya agar lebih mengena dalam memahami ajaran serat Maha Barata yang tersamar, antara lain :
1. Sangkuni, atau nama lainnya Haria Suman. Sangkuni sebagai lambang watak berhati-hati, ragu-ragu dan penakut. 2. Karna, sebagai lambang Angkara. Asal kata angkara dari ahang = aku dan kara = gawe, atau yang menyebabkan. Jadi angkara adalah yang menimbulkan rasa egois (atau rasa kesadaran akan diri sendiri). Dalam cerita, Karna lahir dari telinga Dewi Kunthi, sebelum Kunthi menikah dengan Pandhu. Manusia bisa mengerti bahwa dirinya punya nama A atau B yang menyebabkan kesadaran diri sebagai aku yang membedakan dengan aku-aku yang lain disebabkan karena mempunyai telinga. Timbulnya amarah bisanya dari suara. Gathotkaca sebagai lambang suara matinya dibunuh oleh Karna lambang telinga. Sehingga tepatlah bahwa Karna menjadi lambang dari Nafsu Angkara. 3. Prabu Salya, Sebagai lambang pribadi atau Ingsun (kumingsun) atau individualitas. Terjadinya Angkara adalah dari berkumpulnya Raga, Cipta (perasaan) dan Ripta (pikiran). Sehingga Karna juga sebagai murid kesayangan guru Drona yang pandai. Ingsun (kumingsun) yang mempunya raga, cipta dan ripta. Sesungguhnya Angkara adalah sebagai bayangan dari Ingsun, karena Karna adalah menantu dari Prabu Salya.
4. Sri Kresna, artinya hitam. Hitam itu gelap, yaitu sesuatu yang gelap atau tidak bisa dimengerti oleh akal budi manusia. Sehingga Kresna adalah sesuatu yang Gaib. Sesungguhnya Kresna adalah Pangeran yang bersemayam di dalam pusat bathin manusia, yaitu di dalam Qolbu atau jantung. Sehingga Kresna mempunyai keraton yang bernama Dwarawati. Arti dari kata Dwara sama dengan kata Ingris Door atau kata Belanda Deur, yang bermakna pintu. Kresna bersemayam di Dwarawati bermakna Pangeran bersemayam dalam Qalbu atau jantung manusia, yaitu manusia yang telah dibuka pintu hatinya oleh Tuhan sehingga menjadi manusia binangun, atau manusia pilihan. Ada kata-kata dalam serat Wedhatama yang berbunyi : Bathara Gung; ing uger graning jejantung, jenak Hyang Wisesa sana pasenetan suci, dst. Yang artinya : Bathara Gung (Gusti Allah Yang Maha Agung) bersemayam di pucuk jantung. Taman panglipuran yang Maha Wisesa, tempat persembunyian yang suci, dst. Kenyataan bahwa Pangeran bersemayam di dalam Qolbu manusia, sesuai dengan Q.S. VIII, ayat 24, diantaranya menyebutkan : Wa a’lamu anna Allahu yahulu baina al mar, wa qalbihu, yang kurang lebih bermakna dan ketahuilah bahwa Allah berada dalam diri manusia, yaitu dalam jantungnya. Kresna
VII Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian V. Perseteruan Antara Putra Pandhu dan Putra Drestarata
Melanjutkan kisah para anak Drestharata dan Pandhu ketika masih anak-anak. Hidup bersama di Astina. Di situ perselisihan antara Putra Drestharata dan Putra Pandhu tidak ada habis-habisnya yang disebabkan oleh fitnah dari Putra Drestharata, sehingga Putra Pandhu terusir dari Astina Pura. Kemudian mendirikan Negara sendiri yang bernama Indraprasta. Ini sebagai lambang manusia yang barusaja bisa membedakan sifat baik dan sifat jahat. Walaupun telah mengetahui sifat baik dan jahat, manusia masih harus mengalami berbagai musibah sampai dengan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya. Sehingga, karena selalu mengikuti ajakan dari para Kurawa Ngastina main dhadhu hingga kalah, kemudian menemui kesengsaraan hdiup karena hidup dengan cara menyembunyikan diri dalam hutan buangan.
Main dhadhu, sebagai lambang Ma-lima. Manusia yang telah ditunggangi penyakit Ma-lima hidupnya bakal kandas dalam kenistaan, sampai kelihatan bahwa sudah tidak bisa membedakan kebaikan dari kejahatan. Bagaikan suara bathinya yang mengajak pada kebaikan telah mati. Demikian tadi dilambangkan oleh cerita para Putra Pandhu setelah kalah main dhadhu.
Walaupun telah mengalami kesengsaraan hidup, apabila ada kanugrahan dari Pangeran, manusia bisa menyadari kesalahannya terdahulu, kemudian sadar dan mantap untuk menghancurkan yang menjadi penyebab dari kesengsaraan dalam hidupnya yang berupa Angkara dan Murkanya sendiri. Beja cilaka gumantung ing angga priyangga. Keselamatan atau Kesengsaraan hidup berasal dari dirinya sendiri. Kemudian manusia yang telah bisa menyadari kesalahannya dan mendapat ampunan dari Tuhan akan menjadi manusia Utama atau manusia pilihan. Contoh kisah yang demikian banyak, diantaranya Sunan Kalijaga dan Para Sufi yang lain. Cerita melawan hawa nafsu dan keinginan diri untuk mensucikan Qalbu, dilambangkan dengan Perang Brata Yuda.
Di dalam bab inilah banyak cerita yang dilakonkan oleh para Dhalang dalam pagelaran Wayang Kulit, yang inti ceritanya adalah perseteruan antara Pandawa dan Kurawa yang dikemas dalam berbagai lakon.
VII Ringkasan Cerita Padhalangan Bagian VI. Perang Brata Yuda.
Perang Brata Yuda adalah sebagai lambang manusia sejati dalam berjuang untuk menjadi manusia yang mendapatkan pencerahan dari Tuhan, yaitu Panunggaling Kawula Gusti, dengan jalan menguasa Jagad Kecil.
Para senopati Ngastina harus dikalahkan, sebab sebagai penghalang yang sangat besar dalam upaya mencapai kesempurnaan hidup. Senopati yang harus dikalahkan, ya-itu : 1. Resi Bisma, lambang rasa takut, kuatir, dsb. 2. Resi Drona, Lambang angan-angan, pikiran, ripta, yang selalu menutup-nutupi kenyatan. 3. Adipati Karna, lambang angkara. 4. Prabu Salya, lambang ingsun. 5. Suyudana, lambang murka, rasa harus memiliki apasaja yang disenangi hanya untuk kesenangan diri.
1. Bisma, Di depan telah disampaikan bahwa Bisma lambang dari rasa takut, kuatir, dan sejenisnya. Padahal dengan adanya rasa takut, kuatir, tidak bakalan ada cita-cita apaun yang akan dapat dicapai dengan sempurna. Sifat takut dan kuatir sangat sulit untuk dikuasai atau dihilangkan, sebab manusia hidup molai lahir telah dikuasai oleh rasa takut. Jika saya bertindak begini, nantinya akan menjadi ………………….! Begitu seterusnya. Yang pada akhirnya manusia akan selalu kuatir dalam menghadapi kehidupan, yang barangkali tidak menyenangkan bagi dirinya. Manusia kebanyakan merasa takut akan tidak mendapatkan rizki, takut pada kegelapan, takut pada tempat angker, takut pada mayat, takut pada hantu dan seterusnya. Yang takut pada kehidupan malah bunuh diri. Pada jaman dahulu, usaha untuk menghilangkan rasa takut dengan jalan latihan dengan melakukan tirakat di tempat yang sepi ataupun tempat angker, ataupun dalam hutan, di puncak-puncak gunung, di petilasan-petilasan dan lain-lain.
Manusia yang telah berhasil menguasai rasa takut yang selanjutnya bisa menguasai rasa sedih dan susah, hidupnya banyak tentramnya, sebab telah mendapatkan pengayoman dari Tuhan-nya. Dalam Al-Qur’an ada ayat yang menerangkan : Inna aladzina amanu wa amilu sholihatin, ajruhun inda robbihim laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanuna. (Wong-wong kang padha gede imane, lan tansah gawe becik, ganjarane kepareng ana ing ngarsane Pangerane, Mula ora padha kadunungan rasa was-sumelang lan wedi, lan uga ora kadunungan rasa susah lan sedhih. Manusia yang demikian telah mampu melampaui rasa takut, kuatir dan juga tidak mempunyai rasa susah dan sedih, hidupnya telah berada di Sorga, walaupun masih hidup di dunia. Bisa mengalahkan Bisma telah bisa mengalahkan ciptanya (perasaannya). 2. Drona, Drona menjadi lambang ripta yaitu pikiran. Bisa mengalahkan Drona berarti telah mampu mengendalikan pikiran. Manusia yang mempunyai cita-cita untuk mencapai kesempurnaan hidup sebagai langkah awal harus bisa menguasai perasaan dan pikiran yang selalu mengendalikan jiwa manusia, yang kemudian keluar menjadi tindakan, perbuatan ataupun amal. Padahal setiap amal menentukan nasib. Manusia hanya mendapatkan buah dari tindakannya. Bisa menguasai tindakan berarti bisa menguasai nasib diri.
Apabila Drona mendapat jabatan sebagai lambang pikiran atau Ripta, semakin jelas dari cerita berikut :
Pada suatu hari, ketika masih hidup bersama di Kraton Ngastina, para Kurawa dan Pandhawa sedang bermain, main sepak bola. Bola itu bulat. Disentuh sedikit aja akan berubah tempatnya. Sehingga pada cerita ini, bola sebagai lambang dari segala yang mudah berubah, yaitu keduniaan. Bola tadi secara tidak sengaja masuk ke dalam sumur yang sangat dalam. Artinya, apa saja yang menjadi cita-cita tidak gampang mencapainya. Para Kurawa dan Pandhawa hanya bisa termangu-mangu di pinggir sumur, tidak tau harus berbuat apa. Keadaan yang demikian, diketahui oleh seorang Pandhita. Pandhita tersebut sanggup mengeluarkan bola dari dasar sumur, apabila para Kurawa dan Pandhawa bersedia menyampaikan kepada Prabu Drestarata, agar Pandhita ini diangkat menjadi guru Para Kurawa dan Pandhawa. Permintaan Pandhita tersebut disetujui oleh Para Kurawa dan Pandhawa. Kemudian Sang Pandheta mengeluarkan gendewanya. Bola yang berada di dasar sumur di panah menggunakan batang rumput. Pucuk dari batang rumput menancap di bola. Pandhita tadi memanah lagi menggunakan batang rumput. Pucuk batang rumput kedua menancap pada pangkal batang rumput pertama. Pucuk batang rumput dibelakangnya menancap pada pangkal batang rumput yang mendahuluinya. Akhirnya batang rumput yang terakhir bisa dipegang. Batang rumput yang saling menyambung, kemudian ditarik ke atas sehingga bola bisa diangkat dari dalam sumur. Itulah awal mula Pandhita Drona menjadi gurunya pada Kurawa dan Pandhawa.
Dongeng tersebut di atas jelas sebagai perlambang, bahwa batang rumput yang saling menyambung, tidak lain adalah urut-urutan tindakan yang harus dilalui pada saat manusia harus menyelesaikan pekerjaan yang rumit. Ini menunjukan hasil pekerjaan pikiran atau nalar. Sehingga, sekali lagi bahwa Drona sebagai lambang pikiran, yang pada akhirnya menjadi nalar. Sehingga orang hidup di dunia sebaiknya mengutamakan nalar sebagai gurunya. Jangan sampai hanya mengandalkan perasaan atau emosinya saja. Atau hanya menuruti kehendak raga-nya saja, tanpa mendengarkan suara dari pikiran. 3. Karna, Karna sebagai lambang angkara. Bisa mengalahkan Karna berarti bisa menguasai angkaranya. Angkara berujud dari berkumpulnya raga, cipta (perasaan) dan ripta (pikiran), Tanpa raga, manusia biasa tidak akan bisa mempunyai kesadaran atau menyadari keadaan dirinya. Demikian juga tanpa cipta ataupun tanpa ripta. Sesungguhnya angkara hanya sebagai bayangan dari manusia sejati, yaitu dari diri yang mempunyai raga, cipta dan ripta. Angkara dan manusia sejati tidak akan bisa bersamaan sebagai penguasa dalam Jagad Kecil. Sehingga apabila manusia sejati berkehendak menjadi raja dalam diri yaitu dalam jagad kecil, maka harus bisa menguasai angkaranya. Harjuna sebagai wakil dari Yudhistira harus bisa mengalahkan Karna. 4. Salya, Telah diterangkan bahwa Salya sebagai lambang dari Ingsun. Walau Ingsun berada pada alam jiwa, tingkatannya lebih tinggi dari Angkara, sehingga selama ingsun masih berkuasa, Panunggaling Gusti tidak bakal sempurna. Gugurnya Salya (Ingsun) dari kekuasaan Yudhistira (Hidup sejati) melambangkan sempurnanya Panunggaling Kawula Gusti, bagaikan setetes air yang jatuh ke dalam samudra. Dalam perang tanding antara Karna (Angkara) melawan Harjuna (wakil Yudhistira, wakil dari manusia sejati), kereta perang Karna disetir oleh Salya (angkara dilindungi oleh ingsun), Kereta perang Harjuna (wakil Yudhistira – urip sejati) disetir oleh Kresna, lambang Pangeran atau Allah. 5. Duryudana, Masih ada satu lagi unsur hidup yang harus dihilangkan agar panunggaling Kawula Gusti bisa sempurna, yaitu Murka (Duryudana) yang sebagai sumber dari rasa ingin menguasai atau memiliki. Apabila rasa ingin menguasai segala ujud yang ada di dunia ini belum disirnakan, bisa berakibat fatal. Sebagai contoh, cerita Bagawan Wisrawa, berobah sifatnya menjadi Dasamuka setelah menikahi Dewi Sukesi (lambang keadaan dunia). Makna Sukesi adalah segala yang menyebabkan rasa senang, Suka apabila dilihat (deneksi), yaitu dunia ini, sebagai tumbuh berkembangnya Angkara Murka.
Keterangan bab Panunggaling Kawula Gusti tersebut di atas, bisa tercapai, ketika manusia agung telah meninggal dunia, ataupun pada saat manusia sempurna telah lulus dalam melaksanakan Samadi. Apabila keterangan-keterangan tersebut dihubungkan dengan ketika manusia sempurna telah lulus dari Samadinya’ tentulah para senapati Kurawa Ngastina, tidak harus disirnakan, namun hanya tidak diberi kesempatan saja. Sebab, selama manusia masih berada di dunia; raga, cipta, ripta, angkara, ingsun dan rasa ingin menguasai atau murka, terpaksa masih digunakan sebatas keperluan sebagai sarat hidup manusia. (fungsi hawa nafsu : Nafsu amarah berguna untuk mempertahankan nyawa, tanpanya manusia mudah mati, Nafsu Luwamah berguna untuk mempertahankan raga, tanpanya raga manusia akan rusak, Nafsu sufiah berguna untuk mempertahankan martabat dan kehormatan diri, tanpanya manusia tanpa harga diri, Nafsu mutmainah berguna untuk Manunggaling Kawula Gusti – melebur dalam Tuhan –bagaikan setetes air masuk ke dalam Samudra – hancur lebur tiada bekas. Jika manusia mampu menguasai hawa nafsu dan keinginan diri bagikan Harjuna yang mendapat bimbingan Kresna. Tanpa Bimbingan pengarahan Allah manusia tidak bakalan bisa menyatu dengan Allah. Bimbingan Allah bisa secara langsung ataupun dengan cara lewat Wakil atau Mursyid. Yang langsung contohnya Nabi Khidir. Pen.)
Dibuat : pada tanggal : 08 Agustus 2012 Pujo Prayitno/Pen Sanjaya HP.085 648 130 196
Letak 'Pandawa Lima' dan 'Kurawa' di Tubuh Manusia
AJARAN Kejawen sangat sarat dengan sanepo/sanepan/perumpamaan dan juga filosofi. Setidaknya orang Jawa mesti memahami beberapa cerita wayang baik wayang kulit maupun wayang purwa. Dari kata-kata wayang saja, orang Jawa seharusnya sudah memahaminya karena wayang bermakna "wewayangan" /"ayang-ayang" (bayang-bayang). Bayangan siapa? Ya bayangan kehidupan seluruh manusia di dunia ini.
Dalam wayang terdapat beberapa filosofi seperti Pandawa yang juga sering disebut Pandawa Lima karena jumlahnya lima orang yang terdiri dari 1. Yudhistira; 2. Bima/Sena/Werkudara; 3. Arjuna/Janaka; 4. Nakula dan 5. Sadewa (Nakula dan Sadewa) disebut merupakan saudara kembar. Pandawa lima merupakan sosok penjelmaan dewa.
Disamping sosok yang berjiwa ksatrian dan merupakan penjelmaan dewa, terdapat pula filosofi sosok yang melambangkan angkara murka yang digambarkan lewat 100 sosok Kurawa/Korawa. Ke 100 sosok Kurawa tersebut antara lain 1. Duryodana (Suyodana); 2.Dursasana (Duhsasana); 3. Abaswa; 4. Adityaketu; 5. Alobha; 6. Anadhresya (Hanyadresya); 7. Anudhara (Hanudhara); 8. Anuradha; 9. Anuwinda (Anuwenda); 10. Aparajita; 11. Aswaketu; 12. Bahwasi (Balaki); 13. Balawardana; 14. Bhagadatta (Bogadenta); 15.Bima; 16. Bimabala; 17. Bimadewa; 18.Bimarata (Bimaratha); 19. Carucitra; 20. Citradharma; 21. Citrakala; 22. Citraksa; 23. Citrakunda; 24. Citralaksya; 25. Citrangga; 26. Citrasanda; 27. Citrasraya; 28. Citrawarman; 29. Dharpasandha; 30. Dhreksetra; 31. Dirgaroma; 32. Dirghabahu; 33. Dirghacitra; 34. Dredhahasta; 35. Dredhawarman; 36. Dredhayuda; 37. Dretapara; 38. Duhpradharsana; 39. Duhsa; 40. Duhsah; 41. Durbalaki; 42. Durbharata; 43. Durdharsa; 44. Durmada; 45. Durmarsana; 46. Durmukha; 47. Durwimocana; 48. Duskarna; 49. Dusparajaya; 50. Duspramana; 51. Hayabahu; 52. Jalasandha; 53. Jarasanda; 54. Jayawikata; 55. Kanakadhwaja; 56. Kanakayu; 57.Karna; 58. Kawacin; 59. Krat; 60. Kundabhedi; 61. Kundadhara; 62. Mahabahu; 63. Mahacitra; 64. Nandaka; 65. Pandikunda; 66. Prabhata; 67; Pramathi; 68. Rodrakarma (Rudrakarman); 69. Sala; 70. Sama; 71. Satwa; 72. Satyasanda; 73. Senani; 74. Sokarti; 75. Subahu; 76; Sudatra; 77. Suddha (Korawa); 78. Sugrama; 79. Suhasta; 80. Sukasananda; 81. Sulokacitra; 82. Surasakti; 83. Tandasraya; 84. Ugra; 85. Ugrasena; 86. Ugrasrayi; 87. Ugrayudha; 88. Upacitra; 89. Upanandaka; 90. Urnanaba; 91. Wedha; 92. Wicitrihatana; 93.Wikala; 94. Wikatanana; 95. Winda; 96. Wirabahu; 97. Wirada; 98. Wisakti; 99. Wiwitsu (Yuyutsu); dan 100. Wyudoru (Wiyudarus).
Sejatinya, filosofi sosok Pandawa Lima dan Kurawa yang sangat berlawanan itu bukan hanya cerita semata. Semua itu ada dalam tubuh setiap manusia.
Filosofi Pandawa Lima dalam tubuh setiap manusia yakni
1. Yudhistira (Lokasi perumpamaan Yudhistira di tubuh manusia adalah di OTAK) Yudhistira merupakan saudara Pandawa yang paling tua dan penjelmaan dewa Yama. Sifatnya sangat bijaksana, memiliki moral yang sangat tinggi, suka memaafkan dan mengampuni musuh yang sudah menyerah.
FILOSOFI: Jika manusia ingin mulia dalam hidupnya, maka pergunakanlah otak secara bijaksana dan tidak mengumbar ambisi untuk meraihnya, melainkan mengutamakan strategi untuk meraih kemuliaan hidup di dunia.
2. Bima/Sena/Werkudara (Lokasi perumpamaan Bima/Sena/Werkudara di tubuh manusia adalah pada MATA)
Bima merupakan putra kedua yang merupakan penjelmaan dari dewa Bayu sehingga sering dijuluki Bayusutha. Tubuhnya tinggi, dan berwajah paling sangar diantara saudara-saudaranya. Meskipun demikian, ia memiliki hati yang baik. Lantaran kekuatannya, Bima sangat ditakuti oleh sosok Kurawa dan musuh-musuhnya.
FILOSOFI: Satu hal yang membuat manusia ditakuti adalah matanya. Ketika manusia marah dan matanya melotot, maka orang lain pun akan sedikit gemetar melihat sorot matanya.
3. Arjuna/Janaka (Lokasi perumpamaan Arjuna/Janaka di tubuh manusia adalah pada HATI KECIL/HATI NURANI)
Arjuna merupakan penjelmaan dewa Indra yang juga dewa perang. Sifat utama dari Arjuna adalah sering bertapa, mendekatkan diri pada Sang Pencipta dan tidak pernah berbohong.
FILOSOFI: Kegemarannya bertapa membuat Arjuna sangat dekat dengan SANG PENCIPTA. Manusia yang sering mendengarkan hati kecilnya (nurani) maka ia cenderung memiliki keinginan mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH.
4-5 Nakula dan Sadewa (Lokasi perumpaan Nakula dan Sadewa di tubuh manusia adalah pada BUAH PELER KEMALUAN yang kembar).
Baik Nakula dan Sadewa adalah penjelmaan dewa Aswin yang merupakan dewa pengobatan. Keduanya memiliki sifat bijaksana dan senang melayani.
FILOSOFI: Manusia hendaknya bijaksana dalam menggunakan alat kelaminnya (tidak gonta-ganti pasangan). Dan memiliki kesetiaan untuk melayani pasangan hidupnya.
Itulah sanepan/perumpaan lokasi Pandawa Lima di tubuh anak Adam. Lha terus dimanakah sanepan atau perumpamaan untuk Kurawa di tubuh manusia?
Sanepan/perumpamaan dan filosofi seratus sosok Kurawa itu ternyata berlokasi di hati besar manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, manusia itu memiliki 2 hati yaitu hati besar dan kecil (hati nurani). Kedua hati itu memiliki kecenderungan yang sangat bertolak belakang. Hati besar senantiasa dipenuhi dengan sifat buruk, iri, dengki, ambisi, nafsu berbuat kejahatan dll. Sementara hati nurani cenderung mengajak untuk berbuat kebajikan, suka perdamaian, manembah pada GUSTI ALLAH dan menolong sesama.
Setiap hari dalam kehidupan sehari-hari di tubuh manusia, hati besar dan hati kecil (nurani) senantiasa berperang. Hati besar (yang dikuasai 100 sosok Kurawa yang penuh hawa nafsu itu) berperang melawan hati nurani (yang hanya terdapat Arjuna saja). Pertanyaannya, Bagaimana seorang Arjuna dapat mengalahkan 100 sosok Kurawa? Hal itulah yang membuat manusia cenderung untuk lebih mendengarkan hati besarnya daripada hati kecil (nuraninya). Namun satu hal yang perlu dicatat, meskipun hanya seorang diri dimana Arjuna harus melawan 100 sosok Kurawa, namun Arjuna bisa meraih kemenangan. Caranya, semuanya tergantung manusia itu sendiri untuk lebih mendengarkan suara 'Arjuna' di hati kecil (nurani) dan mengabaikan suara hati besar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar