Rabu, 10 September 2014
Hitungan Hari & Bulan
Hitungan Hari & Bulan Konon pada waktu Empu Sangkala bertapa, ia mendapatkan wangsit yang kemudian-memperkenalkan 5 (lima) macam hari untuk panembah. 1. Ada hari yang dinamakan hari Sri, yalah hari bagi keturunan Dewi Sri yang konon memiliki cahaya putih. Cara menyembahnya menghadap ke arah Timur.
2. Ada hari yang dinamakan hari Kala, yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Kala yang konon cahayanya kuning (jenar). Cara menyembahnya menghadap ke arah Selatan. 3. Ada hari yang dinamakan hari Brahma (Brama), yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Brahma yang konon cahayanya merah. Cara menyembahnya menghadap ke arah Barat. 4. Ada hari yang dinamakan hari Wisnu, yalah hari bagi keturunan Sang Hyang Wisnu yang konon cahayanya hitam. Cara menyembahnya, menghadap ke arah utara. 5. Ada hari yang dinamakan hari Guru, yalah hari bagi keturunan Hyang Guru yang konon cahayanya beraneka warna. Cara menyembahnya menengadah keatas dan menundukkan kepala. Demikianlah asal-mula penduduk Tanah Jawa mempunyai hitungan hari lima, yaitu : Sri, Kala, Brahma, Wisnu dan Guru. Untuk menghindari rasa tidak hormat kepada para dewa sebutannya diganti dengan penjelasan warnanya masing-masing. Kelima warna tadi, adalah sebagai berikut di bawah ini : 1. Warna putih, dinamakan seta. 2. Warna kuning atau jenar, dinamakan pita. 3. Warna merah, dinamakan reta. 4. Warna hitam, dinamakan Kresna. 5. Warna yang bermacam-macam, dinamakan pancawarna. Akhirnya masyarakat terbiasa untuk menamakannya dengan kata-kata : pethakan (seta atau putih), jenean (kuning, jenar, pita) abritan (merah), cemengan (hitam, kresna), dan mancawarna (pancawarna atau macam-macam warna), yang cara menyebutnya pada waktu itu masih mempergunakan dengan bahasa Kawi: Seta, pita, reta, kresna dan pancawarna. Demikianlah cerita mengenai arah panembah bagi keperluan perhitungan menurut cara-cara yang dianjurkan Empu Sangkala. Pada suatu ketika Sang Hyang Surya berkenan menjelma jadi seorang pandeta bernama Resi Radi di Tanah Jawa, dan membangun sebuah padepokan di Gunung Tasik. Sejak Resi Radi berada di gunung Tasik banyak orang-orang yang berguru padanya. Empat tahun setelah Resi Radi bermukim di Gunung Tasik, pada tahun Sarwwadari, Suryasangkala 288 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Brahmana Ngesti Panembah, tahun candra-sangkala 296 ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Mangsa Kasanga Manglar dan bertepatan masa Kartika, Resi Radi berkenan mencipta hari berjumlah 5, masing-masing dinamakan: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon. Dalam perkembangannya hari yang, berjumlah lima ciptaan Resi Radi tadi dijadikan rangkapan (kelengkapan) bagi hari ciptaan Empu Sangkala. Nama-nama hari ciptaan Empu Sangkala kebanyakan masih mempergunakan bahasa Kawi. Demikian pula hari-hari ciptaan Resi Radi, juga mempergunakan bahasa Kawi. Hari yang dinamakan Seta diganti dengan kata Legi atau Manis. Wage disebut Kresna dan Kliwon disebut Kasih. Dengan diselang-seling terjadilah ke lima hari tersebut: Manis, Paing, Pon, Kresna, Kasih. Pada jaman Resi Radi diperkenalkan juga rangkapan perhitungan untuk panatamangsa berdasarkan kebiasaan orang-orang Hindu. Di Tanah Jawa lazimnya dikenal dengan nama-nama sebagai berikut di bawah ini : 1. Masa Kartika, dinamakan Kasa, 2. Masa Pusa dinamakan Karo. 3. Masa Manggasri dinamakan Katiga. 4. Masa Sitra dinamakan Kapat. 5. Masa Manggakala dinamakan Kalima. 6. Masa Naya dinamakan Kanem. 7. Masa Palguna dinamakan Kapitu. 8. Masa Wisaka dinamakan Kawolu. 9. Masa Jita dinamakan Kasanga. 10. Masa Srawana dinamakan Kasadasa. 11. Masa Padrawana dinamakan Pasta. 12. Masa Asuji dinamakan Sadda. Adapun panatamangsa tersebut, berdasarkan hitungan tahun Suryasangkala. Panatamangsa ciptaan Resi Raddi tadi dinamakan mangsa Prawa, dan dipergunakan sebagai rangkapan panatamangsa Hindu. Demikian pula Resi Radi berkenan menciptakan masa perhitungan warsa (tahun), nama-nama untuk bintang-bintang yang dijadikan pedoman jalannya tahun surya (matahari) dan candra (bulan). Demikianlah asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan hitungan untuk hari dua macam, dan berdasarkan hitungan lima dan lima. Dipergunakannya pranata mangsa Prawa, dan membaca keadaan bintang-bintang di langit sebagai suatu isyarat atau tanda datangnya hujan dan arah. Sampai sekarang pun masyarakat Tanah Jawa masih mempergunakan tanda-tanda bintang di langit sebagai isyarat hujan dan arah mata angin. Bintang-bintang yang dijadikan isyarat tersebut antara lain: Bintang Jakabelek, Lanjarngirim, Luku, Jaran dhawuk, Gubug penceng, Bimasekti, dan Wuluh. Dalam tahun Iwa suryasangkala 316, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Horaging Wukir Kabesmi, tahun candrasangkala 327, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Pujaning Brahmana Guna, seorang siswa Resi Raddi yang bernama Raden Raddiya putera Prabu Palindriya diberi tugas untuk mengambil panah milik ayahandanya yang tertinggal di padepokan. Panah telah dihaturkan dan akhirnya Raden Raddiya diangkat sebagai patih dan bernama Silacala. Tak lama setelah diangkat sebagai patih, Silacala ditugaskan untuk menyerang dan merebut Negara Gilinghaya. Raja Negara Gilinghaya bernama Prabu Sitawaka, yang tak lain adalah Dewi Sri yang menyamar sebagai seorang priya. Setelah Negara Gilinghaya kalah. Dewi Sri yang menyamar sebagai Prabu Sitawaka kembali dalam wujud semula dan pergi meninggalkan Gilinghaya masuk ke hutan untuk bertapa. Ayahanda Patih Silacala yalah Prabu Palindriya, mengangkat Patih Silacala menjadi raja di Gilinghaya. Sejak Silacala menjadi raja, nama Gilinghaya dialih menjadi Gilingwesi. Konon Prabu Watugunung yang merupakan saudara tertua yang lahir dari Dewi Soma dicarinya. Setelah bertemu Prabu Watugunung dijadikan paranpara pendeta di pertapaan Andongdadapan di Gadingmawukir. Pada masa itulah Resi Raddi berkenan menata hari dan pawukon, mempergunakan nama-nama isteri, putra Prabu Palindriya dan nama dari sang prabu sendiri. Para isteri dari Prabu Palindriya yang terlahir dari Sang Hyang Anantaboga sebanyak dua orang. Dewi Basundari beralih nama Dewi Sinta dan yang muda bernama Dewi Banuwati beralih nama Dewi Landep. Seterusnya disambung dengan nama-nama para putra sehingga jumlahnya mencapai tigapuluh. Urutan nama-nama pawukon tersebut, sebagai berikut : 1. Sinta, 2. Landep, 3. Wukir. 4. Kurantil. 5. Tolu, 6. Gumbreg, 7. Warigalit, 8. Warigagung, 9. Julungwangi. 10. Sungsang. 11. Galungan. 12. Kuningan, 13. Langkir, 14. Mandasiya, 15. Julungpujud, 16. Pahang, 17. Kuruwalut, 18. Marakeh, 19. Tambir, 20. Medangkungan, 21. Maktal, 22. Wuye, 23. Manahil. 24. Prangbakat, 25. Bala, 26. Wugu, 27. Wayang, 28. Kulawu, 29. Dukut, 30. Watugunung. Setiap tujuh hari wuku-wuku tadi berganti. Sebagai hitungan untuk membaca curah hujan dan datangnya badai, pawukon tersebut dijadikan tolok ukur hitungannya dengan rangkapan hitungan masa surya (matahari).. Demikian pula, pawukon tersebut dijadikan sumber keterangan untuk membaca watak dan pribadi seseorang dan rejekinya. Dalam membaca watak, pribadi dan rejeki seseorang masih ditambah lagi dengan perhitungan sesuai padewan yang tercantum di dalamnya. Konon perhitungan tersebut didasarkan atas watak-watak para arya, dan pribadi dari para dewa yang bersangkutan. Tak ketinggalan juga disertakan pula perhitungan akan hama, sengkan dan turunan asu ajag, celeng tambalung, kutilapas, sapi gumarang, tikus jinada, menjangan randi dan lain sebagainya. Dalam tahun Wakdaniya suryasangkala 386, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Wewayanganing Brahmana Katon Muksa, tahun candrasangkala 397, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Pandita Trusing Guna, Resi Raddi mendapatkan sasmita (alamat) dari Hyang Surya, pesannya, “Mawi satata kadaluwarsa, waluya laya,” Artinya: Orang mendapatkan bencana, dikarenakan bepergian terlalu lama. Resi Raddi dapat tanggap akan sasmita Hyang Surya, bahwasanya dirinya sendirilah yang dilambangkan dengan kata-kata tadi. Sebab Resi Raddi telah lama berada di mertyapada, meninggalkan kahyangan. Pada keesokan harinya Resi Raddi segera memuja kancana yang tidak lain merupakan hari srengenge (matahari) dan sejak itu dinamakan hari Radite. Pada malam harinya Brahmana Raddi ditemui Hyang Candra, yang memberikan sasmita, “Waktra anisana ri netra, awidde ngudaya” yang artinya: “Hilang kebijaksanaan, dikarenakan mata terlepas dari wajah (raut muka).” Brahmana Raddi menyadari bahwa dirinya telah lama meninggalkan kahyangan, sehingga sepeninggal sang brahmana kahyangan seakan-akan gelap. Pagi harinya Brahmana Radi -memuja salaka (perak), ditujukan untuk memuja rembulan (bulan). Sejak itu hari pemujaan salaka dinamakan hari Soma yang berarti bulan. Malam harinya Brahmana Raddi mendapatkan sasmita dari bintang Anggara. Kata-katanya berbunyi, “Sewari taye sogata, rabanggun hura”. Makna dari sasmita tadi, “Para murid kehilangan gurunya, terjadilah perselisihan dan huru-hara.” Brahmana Raddi menyadari bahwa selama bertempat tinggal di mertyapada, terjadilah huru-hara di kahyangan. Pada keesokan harinya sang brahmana memuja api. Sejak saat itu hari untuk memulyakan api dinamakan Anggara, yang berarti hari api. Pada malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Budda. Sasmita bintang Budda: “Sakatanira daruki, pangira dalayun.” Makna dari sasmita bintang Budda tadi: “Manakala ada pedati tanpa sais, hewan-hewan penariknya akan kehilangan arah.” Brahmana Raddi merasa selama di mertyapada perjalanan surya mengalami banyak perubahan. Pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan besi dengan tujuan memuliakan juga bumi. Sejak hari pemuliaan tadi dinamakan hari Budda yang berarti bumi. Malam berikutnya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Wrahaspati yang memberikan lambang kata-kata “Mamingkareng adikara, karanya tunna.” Makna sasmita bintang Wrahaspati tadi: “Manakala ada orang meninggalkan pekerjaan yang penting, akhirnya dirinya sendirilah yang mendapatkan kerugian.” Brahmana Raddi menyadari bahwa turunnya ke bumi, banyak pekerjaan yang penting diterlantarkan. Akhirnya sang brahmana menyadari pula bahwa hanya kerugianlah yang menimpanya. Pada pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan perunggu sekaligus memuliakan halilintar. Hari pemuliannya dinamakan hari Wrahaspati, yang berarti halilintar dan lazimnya orang mengatakan Respati. Pada malam harinya Brahmana Raddi menerima sasmita dari bintang Sukra, yang memberikan kata-kata lambang : “Katenti suti juga ya murkka, madurhywaka.” Maknanya: “Menuruti segala keinginan itu disebut murka, akhirnya kesusahanlah (bencana) yang didapat.” Brahmana Raddi menyadari bahwa selama dirinya berada di mertyapada akan dikatakan murka oleh para dewa. Pada pagi harinya Brahmana Raddi memuliakan tembaga sekaligus memuliakan air. Sejak hari pemuliaan tadi, disebut hari Sukra yang berarti larangan. Pada malam berikutnya, Brahmana Raddi menerima sasmita lagi dari bintang Niscaya yang mengatakan. “Samadi masasaya, lanepa laksana.” Makna dari sasmita tadi: “Jika janji telah datang pada masanya, tetap harus ditepati.” Brahmana Raddi menyadari bahwa dahulu pernah berjanji dengan para dewa, bahwa hanya seratus tahun saja di dunia. Itulah sebabnya, dalam hati sang brahmana merasa malu sebab telah lebih dari waktu yang pernah dijanjikannya. Pada keesokan harinya Brahmana Raddi mengadakan pemuliaan timah yang berarti juga memuliakan angin. Sejak hari pemuliaan itu, dinamakan hari Saniscaya yang berarti angin. Setelah seminggu lamanya Brahmana Raddi terus menerus menerima sasmita dari bintang-bintang, menghadaplah ia kepada Prabu Selacala. Sang brahmana menyarankan kepada sang raja, agar berkenan memakai dan mengundangkan penggunaan perhitungan hari yang berjumlah lima dan tujuh tadi beserta perhitungan pawukon. Kesemuanya tadi diharapkan untuk menjadi peringatan. Setelah didapat kesepakatan dengan raja, Brahmana Raddi muksa kembali ke kahyangan. Kembali dalam wujud dan nama semula, yalah Hyang Batara Surya. Konon setelah kepergian Brahmana Raddi, Resi Buddalah yang menggantikannya menjabat brahmana di Gilingwesi. Sejak di Andongdadapan Resi Budda telah melaksanakan segala perintah Brahmana Raddi. Antara lain menyebar luaskan penggunaan hari yang berjumlah lima, yalah : Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon beserta hitungan masa Prawa sebagai pengganti masa Pali-wara Hindu. Demikian pula telah disebar luaskan penggunaan panata bulan yang tigapuluh jumlahnya beserta rangkapan kelengkapannya. Adapun pemakaian hari yang berjumlah tujuh itu tidak mengalami perubahan. Tetap melestarikan seperti sediakala, umpamanya: 1. Radite. Radite adalah nama Prabu Watugunung ketika menjadi siswa (puruhita) pada Brahmana Raddi. 2. Soma. Soma adalah nama permaisuri Prabu Palindriya yang pertama. 3. Anggara, Sukra. Anggara dan Sukra, kedua-duanya putra Dewi Soma dengan Prabu Palindriya. 4. Wrehaspati. Pada waktu Prabu Palindriya masih menjadi pandita, namanya wrahaspati. 5. Niscaya. Niscaya adalah putera Dewi Soma yang bersuamikan Raden Radite (Prabu Selacala). Konon Prabu Selacala tidak berkeberatan mengakui anaknya, jika terakhir seorang laki-laki. Setelah lahir laki-laki, dinamakan Raden Niscaya. Akan tetapi lama-kelamaan tampak wujudnya yang asli yalah perempuan. Selanjutnya, namanya diganti dengan Dewi Tumpak. Sejak itu hari Niscaya diganti dengan nama Dewi Tumpak dan segera duimumkan kepada khalayak ramai. Akhirnya ketujuh hari tersebut, nama-nama adalah : 1. Radite, 2. Soma, 3. Anggara, 4. Budda, 5. Wrahaspati, 6. Sukra dan 7. Tumpak. Setelah penggantian terjadi Resi Budda berkenan menambah rangkapan hari sebagai tanda adanya pangapesan (bencana, halangan, aral dan sebagainya). Sedangkan nama para putra yang lahir dari Resi Anggara dan Resi Sukra yang dipergunakan. Selanjutnya dipakai sebagai rangkaian hari dan dinamakan hari naas (paringkelan), yalah : 1. Raden Aryang, 2. Raden Wurungkung, 3. Raden Paning-ron, 4. Raden Owas, 5. Raden Wewulu, 6. Dewi Tungle. Keenam-nya putera Resi Budda. Seterusnya dibuat juga perhitungan hari-hari baik dan tidak baik sebagai kelengkapan- prabot pawukon dan dinamakan pandangon. Nama-nama yang dicantumkan, mirip nama Resi Anggara dan Resi Sukra. Mereka adalah : 1. Raden Dungu, 2. Raden Jagur, 3. Raden Gigis, 4. Raden Kerangan, 5. Raden Nohan, 6. Raden Wogan, 7. Dewi Tulus, 8. Raden Wurung, 9. Raden Dadi. Setelah tersusun, Resi Budda menghadap Sang Prabu Watugunung, dan menyerahkannya. Selanjutnya oleh Prabu Watugunung hari perhitungan baik dan buruk untuk kelengkapan pawukon yang dinamakan padangon tadi disebar luaskan kepada para kawula praja. Demikianlah asal mula masyarakat Tanah Jawa mempergunakan hari pasaran lima, sebagai ganti hari padewan yang juga lima jumlahnya. Seterusnya dimulailah penggunaan hari sejumlah tujuh, paringkelan dan pandangon, pawukon dan palintangan. Sebaliknya cara melakukan upacara dan sesaji masih memakai adat dan tatacara Agama Budha. Dalam tahun Istrimuka suryasangkala 621, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Janma Sinembah ing Anggas, tahun candrasangkala 640, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Tanpa Warna Angrasa kira-kira bertepatan dengan masa Sitra, pada suatu ketika Hyang Narada beserta para dewa lainnya turun ke mertya-pada menemui Raja Pandita Parasa di Negara Astina untuk menyampaikan amanat Sang Hyang Girinata. Berkatalah Hyang Narada kepada Raja Pandita Parasara, “Kaki Parasa. Atas kehendak Sang Hyang Girinata kaki diangkat sebagai ratu binatara di Negara Astina dan sejajar dengan Negara Wirata. Wahai Kaki Prabu, nama-mu sekarang Prabu Dwi Pakeswara.” Setelah menyampaikan amanat Hyang Girinata, Hyang Narada beserta para dewa lainnya kembali ke kahyangan. Wadyabala dan kawula Astina yang mendengar bahwa Sang Parasara telah diangkat sebagai Prabu Binatara dengan nama Dwipakeswara, amat bersukacita. Sedangkan Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan mengangkat beberapa anggota keluarga, antara lain Maharsindra Dewa dijadikan seorang brahmana. Adapun Wasi Jawalagni diangkat sebagai patih dan bertindak sekaligus sebagai sesepuh (tuwanggana). Patih-jawi diberikan kepada Sang Wasi Duma. Wiku Salya menjadi jaksa. Bertepatan masa Srawana, Prabu Binatara Dwipakeswara berkenan merakit tata perjalanan masa yang jumlahnya duabelas yang dinamakan masa Purwa. Perhitungannya tidak disandarkan dasar dirga, seperti halnya perilaku perhitungan untuk masa Pali atau masa Prawa, tetapi perjalanan dan perhitungan serta nama-nama tahun masih mempergunakan dasar-dasar paliwarsa atau prawawarsa, dan masih ditambah duabelas masa lagi yang disebut Purwawisa sebagai kelengkapan untuk perhitungan tahun Pali dan Prawa. Nama-nama paliwarsa dalam pengertian Hindu ialah : 1. Sambrama, 2. Biswawisu, 3. Kalayudi, 4. Kalakanda, 5. Rahutri, 6. Dumdumi, 7. Triyoddari, 8. Tisimuka, 9. Dinakara, 10. Sujarha, 11. Saddamuku, 12. Saddakasadda, 13. Jagalogena, 14. Kilaka, 15. Prapawa, 16. Iwa, 17. Cukila, 18. Pramududa, 19. Prasudpadi, 20. Anggila, 21. Istrimuka, 22. Prawa, 23. Ipa, 24. Tadu, 25. Iswara, 26. Wakdaniya, 27. Pramadi, 28. Wikrama, 29. Wila, 30. Citrapanu, 31. Supanu, 32. Taruna, 33. Partipa, 34. Wiya, 35. Sarwasiti, 36. Sarwwadari, 37. Wirodi, 38. Wikuraddi, 39. Kareha, 40. Santena, 41. Wijaya. 42. Jayaha, 43. Manmata, 44. Tukmuti, 45. Wiyolambi, 46. Wulambi, 47. Wikari, 48. Sarwwari, 49. Pilapawa, 50. Subakartti, 51. Sabakartti, 52. Awiya, 53. Anandu, 54. Rancaha, 55. Wingsala, 56. Nala, 57. Pilawangga, 58. Sahumiya, 59. Saddaruna, 60. Rudraksa, semuanya didasarkan perhitungan dengan surya (jalannya matahari).
Adapun ciptaan Brahmana Raddi, Padrawarsa terdiri dari : 1. Kanika, 2. Yama, 3. Pratiwi, 4. Suman, 5. Brahma, 6. Uma, 7. Endra, 8. Sri, 9. Iswara, 10. Pramana, 11. Wisesa, 12. Esa, hitungannya atas dasar masa surya dan berlaku di Negara Gilingwesi, (masih dipergunakan di daerah Jawa Barat).
Ciptaan Prabu Dwipakeswara, yang termasuk dalam golongan masa Purwwa yalah : 1. Pratiwi, 2. Prayana, 3. Brahma, 4. Angga, 5. Bayu, 6. Yuma, 7. Sri, 8. Kala, 9. Marugga, 10. Garuna, 11. Baruna, 12. Kirana.
Adapun nama-nama yang terdapat dalam masa Purwa, masih memakai seperti yang tercantum dalam masa Paliwara, yalah : 1. Masa Kartika, terdapat 31 hari dinamakan Kasa. 2. Masa Pusa, terdapat 30 hari dinamakan Karo. 3. Masa Manggasri, terdapat 30 hari dinamakan Katiga. 4. Masa Sitra, terdapat 31 hari dinamakan Kapat. 5. Masa Manggakala, terdapat 30 hari dinamakan Kalima. 6. Masa Naya, terdapat 31 hari dinamakan Kanem. 7. Masa Palguna, terdapat 31 hari dinamakan Kapitu. 8. Masa Wisaka, terdapat 30 hari dinamakan Kawolu. 9. Masa Jita, terdapat 30 hari dinamakan Kasadasa. 11. Masa Padrawana, terdapat 30 hari dinamakan Dasta. 12. Masa Asuji, terdapat 30/31 hari dinamakan Sadda.
Konon masa Paliwara tadi segera diundangkan ke seluruh Negeri Astina, dan masyarakat mempergunakannya sebagai dasar-dasar perhitungan masa. Sedangkan di Negeri Wirata, masih berlaku hitungan dengan masa Paliwarsa. Para penghulu agama Brahmalah yang dibebani dan diserahi pelaksanaan hitungannya. Pada jaman pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana, Negara Astina lazim memakai hitungan Prawawarsa. Sebaliknya selain hitungan masa Prawawarsa, hitungan lainnya masih dipakai dan diperingati juga. Jaman Majapahit di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya, yang dipergunakan yalah masa Prawawarsa. Lain-lainnya tak diperingati (dipakai) lagi, kecuali dipergunakan di kalangan para pujangga dan para brahmana saja. Konon pada tahun suryasangkala 1236, ditandai dengan sengkalan yang berbunyi Rasaning Satriya Nembah Gusti, Candrasangkala 1338, di tandai dengan sengkalan yang berbunyi Pandita Sri katon Tunggal, Majapahit jatuh oleh putra Prabu Brawijaya ke V sendiri, yalah Raden Patah. Oleh para wali Raden Patah diangkat sebagai Raja Islam di Demak, dan segala perhitungan yang mengenai hari, masa, tahun dan lain-lainnya diganti semua nama-namanya dengan bahasa Arab. Pada kenyataannya tahun Arab hanya delapan jumlahnya. Dasar perhitungannya dikalikan, dan hasil perkalian tadi, namanya Windu. Hari pasaran yang dipakai adalah: Legi, Paing, Pon, Wage dan Kliwon, Paringkelan, padangon, sengkan turunan, dan wuku tetap dipergunakan. Doa-doa memakai bahasa Arab, demikian pula ketujuh hari tersebut nama-namanya pun dalam bahasa Arab.
Hari-hari yang diganti memakai bahasa Arab yaitu : 1. Dite, diganti nama Awal atau Akad yang berarti permulaan atau awal. 2. Soma, diganti Isnen atau Senen, Senin (Ahwan) yang berarti yang kedua. 3. Anggara, diganti nama Salasa atau Jabari yang berarti yang ke-tiga. 4. Budda, diganti nama Arba, Rabu atau Dibari yang berarti yang keempat. 5. Respati, diganti nama Munisa atau Kamis yang berarti yang kelima. 6. Sukra, diganti nama Ngurabah atau Jumuah, yang berarti berkumpul atau kumpulan. 7. Tumpak, diganti Sabad, Sabtu atau Sayari yang berarti terakhir.
Perjalanan matahari dihitung dengan dasar Prawawarsa, yaitu perhitungan Sang Hyang Surya. Adapun lama hari dihitung memakai dasar dirga Paliwarsa, dan tidak berdasarkan Purwawarsa sebab dirasa kurang cocok.
Bulan, masa dan umurnya. 1. Masa Kasa, berumur 41 hari. 2. Masa Karo, berumur 23 hari. 3. Masa Katiga, berumur 24 hari. 4. Masa kapat, berumur 25 hari. 5. Masa Kalima, berumur 27 hari. 6. Masa kanem, berumur 43 hari. 7. Masa Kapitu, berumur 43 hari. 9. Masa Kasanga, berumur 25 hari. 10. Masa Kasapuluh, berumur 24 hari. 11. Masa Dasta, berumur 23 hari. 12. Masa Sadda, berumur 41 hari;
Pada waktu itu yang dipergunakan hanya berdasarkan panata-mangsa, sedangkan perhitungan tahun (warga) sudah tidak dilanjutkan lagi. Dengan demikian ada 60 nama untuk jenis Paliwarsa, 12 nama untuk Pranawarsa, dan 12 nama untuk Purwawarsa yang tidak dipergunakan lagi.
Kalaziman pada waktu itu mempergunakan nama sesuai tata dan cara Arab, untuk candrasangkala, seperti yang tersebut di di bawah ini. 1. Muharam atau Sura, berumur 30 hari (Ijabah, Asan-Usen). 2. Sapar, berumur 29 hari. 3. Rabingulawal (Mulud), berumur 30 hari. Yalah hari kelahiran-Kanjeng Nabi. 4. Rabingulakir, berumur 29 hari. 5. Jumadilawal, berumur 30 hari. 6. Jumadilakir berumur 29 hari. 7. Rajab, berumur 30 hari. Hari mik'rad Kangjeng Nabi. 8. Arwah (Ruwah, atau Sakban) berumur 29 hari, Kalkahosar dan kubur. 9. Ramelan (Puwasa), berumur 30 hari. Rialat. 10. Syawal, berumur 29 hari. Idhul Fitri. ari adi. 11. Dulkaidah (Apit, Sela), berumur 30 hari. 12. Dulhijan (Besar), berumur 30 hari. Hari korban (kekah), haji. Setiap 12 tahun telah berjalan, dinamakan satu tahun perjalanan candrasangkala.
Adapun nama-nama tahun bagi candra ada delapan, ialah : l. Alip, 2. Ehe, 3. Jimawal, 4. Je, 5. Dal, 6. Be. 7. Wawu dan 8. Jimakir. Setiap kali dalam perjalanan keliling kedelapan tahun tersebut dinamakan satu windu.
Windu ada empat macam. Nama-namanya menurut bahasa Jawa, ialah : 1. Adi. Windu Adi berarti windu yang baik dan banyak mengandung keelokan. 2. Kuntara. Windu Kuntara berarti windu yang banyak mengandung bencana. 3. Sengara (Sanghara). Windu Sengara atau Sanghara berarti windu yang banyak mengalami banjir (air bah). 4. Sancaya. Windu Sancaya berarti windu yang banyak memperlihatkan kegiatan pembangunan. Candrasangkala dengan nama-nama bahasa Arab, lazim dipergunakan untuk menandai setiap pergantian masa. Penataan windu dimulai setelah jaman Majapahit, bertepatan pada tahun candrasangkala 1338. Untuk mendapatkan atau memperhitungkan windu bertepatan dengan perhitungan tahun (warsa), seyogyanya haruslah angka-angka tahun kalau dibagi 32 akan mendapatkan hasil 41. Jika perjalanan windu lebih 16 tahun, dijadikanlah 2 windu. Itulah sebabnya dimulainya tahun candrasangkala 1339, dihitung tahun Alip, dan windunya dimulai dengan windu Sengara (angka 3). Konon para waliyullah yang bertugas sebagai paranpara Kerajaan Demak berkenan menciptakan pula hitungan dan penjelasan untuk hari-hari naas dan baik, serta watak manusia sesuai hari kelahiran masing-masing.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar